Tuesday, October 28, 2014

Mengatasi Perilaku Tantrum Pada Anak

Mengatasi Perilaku Tantrum Pada Anak
Mendengar tangisan anak yang tak berkesudahan diiringi jeritan hingga ekspresi tak wajar seperti bergulingan di lantai, memukul dan melempar barang tentu saja sangat mengejutkan. Kondisi demikian disebut tantrum yang biasanya terjadi pada-anak-anak. Jika menghadapi situasi seperti ini, orangtua jangan langsung panik. Kenali penyebabnya dan atasi sedini mungkin. Bagaimana caranya?

Pernah melihat seorang anak menangis, berteriak sampai guling-gulingan di tengah keramaian? Atau mungkin saja buah hati Anda tiba-tiba melempar-lempar barang yang ada di dekatnya hingga memukul-mukul diri sendiri? Jika mendapati keadaan tersebut, Anda jangan keburu panik atau membalas dengan emosi, marah-marah atau gelisah. Kepanikan dan amarah orangtua akan memperburuk keadaan. Usahakan tetap tenang dan peluk anak dengan kehangatan.

Jika anak mulai memukul-mukul diri sendiri segera raih tangannya dan tenangkan diri anak dengan sungguh-sungguh. Ketenangan yang diberikan orangtua kepada anak dalam keadaan seperti ini diharapkan dapat meredakan emosi anak. Langkah tersebut dapat menjadi sebuah tahap awal sebelum orangtua mendalami lebih lanjut mengenai kondisi tantrum dan cara mencegahnya.

Tantrum. Dijelaskan Maria, M.Psi.,psikolog., MCHt., EST, CGA, tantrum adalah Kondisi luapan emosi yang biasanya ditampilkan dalam bentuk perilaku menangis, berteriak, menghentak-hentakkan kaki, memukul-mukul, bahkan melukai diri sendiri dan orang lain. Perilaku tantrum yang paling banyak dikeluhkan para orangtua terjadi pada anak usia 1-3 tahun.

Pada usia tersebut, umumnya anak sedang mengembangkan rasa kemandirian sehingga mereka ingin melakukan dan memiliki berbagai macam hal untuk memuaskan keinginan mereka sendiri. Namun, hal atau keinginan tersebut sering kali berbenturan dengan aturan yang berasal dari orangtua. Benturan yang berupa larangan atau hukuman atas keinginan anak ini yang menyebabkan timbulnya emosi pada anak seperti rasa marah, sedih atau kecewa yang kemudian diekspresikan dalam bentuk perilaku menangis atau marah.

Umumnya Kondisi tantrum cukup sering dijumpai terutama pada anak-anak yang terlambat bicara. Keadaan tersebut dikarenakan mereka belum dapat mengekspresikan emosi secara verbal, maka orangtua umumnya sulit memahami isi hati anak. Pada akhirnya akan mengakibatkan kebutuhan emosi anak semakin tidak terpenuhi dan anak menjadi frustrasi hingga tantrum. Tak hanya itu saja, Kondisi tantrum juga terjadi pada anak-anak yang tidak dilatih untuk mengekspresikan emosi dengan cara yang baik.

Di dalam tahap perkembangan anak, ketika anak berusia 2-4 tahun, mereka mulai memelajari untuk mengungkapkan emosi istilah-istilah dasar seperti “aku sedih, aku marah, aku takut, aku bahagia”. Selanjutnya jika orangtua sudah mengarahkan atau memberi kesempatan kepada anak untuk mencurahkan isi hati, maka ketika emosi negatif tengah dirasakan, mereka akan belajar bahwa ada cara lain selain menangis atau berteriak untuk mengungkapkan isi hati salah satunya dengan saling membicarakan atau mengomunikasikannya. Perilaku marah atau menangis wajar dialamit setiap anak, namun frekuensi dan durasinya tidak akan berlarut-larut dan anak cenderung mudah ditenangkan.

Selain kondisi tersebut, tantrum juga dapat terjadi pada anak-anak yang dimanjakan orangtua, anak yang merasa kurang dikasihi, diperhatikan serta anak korban kekerasan, dan anak-anak yang dimanjakan orangtua atau selalu dituruti keinginannya. Akhirnya, mereka tidak mampu untuk menunda atau mengalihkan keinginan sehingga ketika sesekali keinginannya tidak dipenuhi, maka anak akan merasa tidak nyaman dan menunjukkan perilaku tantrum. Perilaku tersebut sebagai cara atau upaya dalam mengomunikasikan bahwa mereka menuntut agar keinginannya dapat dipenuhi segera mungkin.

Berdampak Negatif. Apabila kondisi tantrum pada anak dibiarkan dan terus terjadi bahkan menjadi sebuah kebiasaan hingga usia anak terus bertambah, maka akan berdampak negatif pada kemampuan anak beradaptasi di lingkungan sosial. Anak akan mengalami kesulitan membangun relasi sosial yang harmonis dengan teman-temannya maupun orang yang lebih tua seperti guru. Tidak menutup kemungkinan akan mendatangkan perilaku yang cenderung melanggar aturan yang berlaku. Jika dibiarkan terus menerus, dikhawatirkan ketika beranjak remaja akan terlibat dalam kenakalan remaja.
Sebagai orangtua tentu saja menginginkan hal terbaik dan tak ingin buah hatinya memiliki perilaku tantrum hingga dewasa. Ada beberapa tips yang dapat dilakukan orangtua agar mencegah perilaku tersebut, antara lain:

Pertama, rajin melatih anak untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dua arah. Arahkan dan jelaskan kepada anak bahwa ketika mereka menjelaskan isi hatinya, orang lain akan lebih memahami keinginan mereka. Di saat mereka sedih, takut, khawatir dan marah, mereka tetap diperbolehkan menangis atau marah untuk melepaskan emosi negatifnya.

Namun, setelah perasaan lega dan lepas, mereka dapat bicara sesuka hati dan mengetahui bahwa segala keluh kesah yang ingin diceritakan pasti didengarkan. Komunikasi antara orangtua dan anak atau yang dapat disebut sebagai komunikasi dua arah memungkinkan mereka untuk berdiskusi dan menemukan jalan tengah jika ada keinginan anak yang bertentangan dengan pemikiran atau aturan orangtua.


Kedua, bersikap demokratis dalam mendidik anak. Usahakan tetap seimbang, jangan memanjakan dan jangan otoriter terhadap anak. Pola asuh seperti ini harus dilakukan sejak usia dini. Orangtua harus belajar mendengarkan keinginan anak dan memenuhinya jika ternyata keinginan tersebut merupakan hal terbaik bagi anak. Sebaliknya, tetap katakan tidak jika keinginan atau harapan anak memang tidak dapat dipenuhi. Hal ini akan membantu anak mengembangkan rasa aman, memiliki kemandirian, rasa inisiatif terhadap situasi apapun dan kemampuan mengontrol diri yang baik. Widi (Info Kecantikan)

0 komentar:

Post a Comment