Mendengar tangisan anak yang tak
berkesudahan diiringi jeritan hingga ekspresi tak wajar seperti bergulingan di
lantai, memukul dan melempar barang tentu saja sangat mengejutkan. Kondisi demikian
disebut tantrum yang biasanya terjadi pada-anak-anak. Jika menghadapi situasi
seperti ini, orangtua jangan langsung panik. Kenali penyebabnya dan atasi
sedini mungkin. Bagaimana caranya?
Pernah melihat seorang anak
menangis, berteriak sampai guling-gulingan di tengah keramaian? Atau mungkin
saja buah hati Anda tiba-tiba melempar-lempar barang yang ada di dekatnya
hingga memukul-mukul diri sendiri? Jika mendapati keadaan tersebut, Anda jangan
keburu panik atau membalas dengan emosi, marah-marah atau gelisah. Kepanikan
dan amarah orangtua akan memperburuk keadaan. Usahakan tetap tenang dan peluk
anak dengan kehangatan.
Jika anak mulai memukul-mukul
diri sendiri segera raih tangannya dan tenangkan diri anak dengan
sungguh-sungguh. Ketenangan yang diberikan orangtua kepada anak dalam keadaan
seperti ini diharapkan dapat meredakan emosi anak. Langkah tersebut dapat
menjadi sebuah tahap awal sebelum orangtua mendalami lebih lanjut mengenai
kondisi tantrum dan cara mencegahnya.
Tantrum. Dijelaskan Maria, M.Psi.,psikolog., MCHt., EST, CGA,
tantrum adalah Kondisi luapan emosi yang biasanya ditampilkan dalam bentuk
perilaku menangis, berteriak, menghentak-hentakkan kaki, memukul-mukul, bahkan
melukai diri sendiri dan orang lain. Perilaku tantrum yang paling banyak dikeluhkan
para orangtua terjadi pada anak usia 1-3 tahun.
Pada usia tersebut, umumnya anak
sedang mengembangkan rasa kemandirian sehingga mereka ingin melakukan dan
memiliki berbagai macam hal untuk memuaskan keinginan mereka sendiri. Namun,
hal atau keinginan tersebut sering kali berbenturan dengan aturan yang berasal
dari orangtua. Benturan yang berupa larangan atau hukuman atas keinginan anak
ini yang menyebabkan timbulnya emosi pada anak seperti rasa marah, sedih atau
kecewa yang kemudian diekspresikan dalam bentuk perilaku menangis atau marah.
Umumnya Kondisi tantrum cukup
sering dijumpai terutama pada anak-anak yang terlambat bicara. Keadaan tersebut
dikarenakan mereka belum dapat mengekspresikan emosi secara verbal, maka orangtua
umumnya sulit memahami isi hati anak. Pada akhirnya akan mengakibatkan
kebutuhan emosi anak semakin tidak terpenuhi dan anak menjadi frustrasi hingga
tantrum. Tak hanya itu saja, Kondisi tantrum juga terjadi pada anak-anak yang
tidak dilatih untuk mengekspresikan emosi dengan cara yang baik.
Di dalam tahap perkembangan anak,
ketika anak berusia 2-4 tahun, mereka mulai memelajari untuk mengungkapkan
emosi istilah-istilah dasar seperti “aku sedih, aku marah, aku takut, aku
bahagia”. Selanjutnya jika orangtua sudah mengarahkan atau memberi kesempatan kepada
anak untuk mencurahkan isi hati, maka ketika emosi negatif tengah dirasakan,
mereka akan belajar bahwa ada cara lain selain menangis atau berteriak untuk
mengungkapkan isi hati salah satunya dengan saling membicarakan atau
mengomunikasikannya. Perilaku marah atau menangis wajar dialamit setiap anak,
namun frekuensi dan durasinya tidak akan berlarut-larut dan anak cenderung
mudah ditenangkan.
Selain kondisi tersebut, tantrum
juga dapat terjadi pada anak-anak yang dimanjakan orangtua, anak yang merasa
kurang dikasihi, diperhatikan serta anak korban kekerasan, dan anak-anak yang
dimanjakan orangtua atau selalu dituruti keinginannya. Akhirnya, mereka tidak
mampu untuk menunda atau mengalihkan keinginan sehingga ketika sesekali
keinginannya tidak dipenuhi, maka anak akan merasa tidak nyaman dan menunjukkan
perilaku tantrum. Perilaku tersebut sebagai cara atau upaya dalam
mengomunikasikan bahwa mereka menuntut agar keinginannya dapat dipenuhi segera
mungkin.
Berdampak Negatif. Apabila kondisi tantrum pada anak dibiarkan dan
terus terjadi bahkan menjadi sebuah kebiasaan hingga usia anak terus bertambah,
maka akan berdampak negatif pada kemampuan anak beradaptasi di lingkungan
sosial. Anak akan mengalami kesulitan membangun relasi sosial yang harmonis
dengan teman-temannya maupun orang yang lebih tua seperti guru. Tidak menutup
kemungkinan akan mendatangkan perilaku yang cenderung melanggar aturan yang
berlaku. Jika dibiarkan terus menerus, dikhawatirkan ketika beranjak remaja akan
terlibat dalam kenakalan remaja.
Sebagai orangtua tentu saja
menginginkan hal terbaik dan tak ingin buah hatinya memiliki perilaku tantrum
hingga dewasa. Ada beberapa tips yang dapat dilakukan orangtua agar mencegah
perilaku tersebut, antara lain:
Pertama, rajin melatih anak untuk mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dua arah. Arahkan dan jelaskan kepada anak bahwa ketika mereka
menjelaskan isi hatinya, orang lain akan lebih memahami keinginan mereka. Di
saat mereka sedih, takut, khawatir dan marah, mereka tetap diperbolehkan
menangis atau marah untuk melepaskan emosi negatifnya.
Namun, setelah perasaan lega dan
lepas, mereka dapat bicara sesuka hati dan mengetahui bahwa segala keluh kesah
yang ingin diceritakan pasti didengarkan. Komunikasi antara orangtua dan anak
atau yang dapat disebut sebagai komunikasi dua arah memungkinkan mereka untuk
berdiskusi dan menemukan jalan tengah jika ada keinginan anak yang bertentangan
dengan pemikiran atau aturan orangtua.
Kedua, bersikap demokratis dalam mendidik anak. Usahakan tetap
seimbang, jangan memanjakan dan jangan otoriter terhadap anak. Pola asuh
seperti ini harus dilakukan sejak usia dini. Orangtua harus belajar
mendengarkan keinginan anak dan memenuhinya jika ternyata keinginan tersebut
merupakan hal terbaik bagi anak. Sebaliknya, tetap katakan tidak jika keinginan
atau harapan anak memang tidak dapat dipenuhi. Hal ini akan membantu anak
mengembangkan rasa aman, memiliki kemandirian, rasa inisiatif terhadap situasi
apapun dan kemampuan mengontrol diri yang baik. Widi (Info Kecantikan)
0 komentar:
Post a Comment