Pendidikan merupakan prioritas
orangtua bagi si buah hati. Namun, saat anak telah disekolahkan sejak dini,
apakah baik bagi perkembangan psikologisnya? Ataukah harus menunggu usia
tertentu baru anak disekolahkan? Lalu, apa dampak, jika anak telah bersekolah
sejak usia satu tahun?
Berbagai cara dilakukan oleh
orangtua agar anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas, pintar dan kreatif.
Karena itu, tak heran saat ini banyak orangtua yang telah menyekolahkan anaknya
padahal baru berusia satu tahun. Lalu, apa dampaknya anak telah bersekolah
sejak usia dini?
Tidak Dianjurkan. 10 tahun yang lalu, umumnya orangtua baru
menyekolahkan anaknya saat berusia 5 atau 6 tahun. Namun, kondisi saat ini
berbeda jauh. Kebanyakan orangtua telah menyekolahkan anaknya saat masih
berusia satu tahun. Hal ini karena orangtua menginginkan anak belajar mengenal
lingkungan. Jika sebelumnya si anak lebih banyak berada di rumah dan hanya
dekat dengan keluarga intinya, dengan bersekolah ia mulai belajar
bersosialisasi dengan pengajar atau teman seumuran.
Menurut Katarina Ira Puspita,
M.Psi, psikolog dari Kassandra & Associates, sosialisasi anak tidak hanya di
sekolah tetapi bisa di rumah. “Memang bisa melatih sosialisasi tetapi apakah
hanya bisa dilakukan di lembaga formal?” kata Katarina yang mengatakan hanya
buang-buang uang saja karena biaya sekolah pasti mahal. Ditambahkan Katarina,
melatih kemandirian anak harus diawali dari lingkungan rumah bukan di sekolah.
“Kemandirian harus dilatih di rumah, bukan di sekolah,” jawab Katarina. Apalagi
saat anak berusia setahun biasanya baru bisa belajar jalan dan mengenal
nama-nama barang. Karena itu, orangtua yang mengajarkan hal itu terhadap anak,
bukan tenaga pengajarnya. “Hubungan orangtua akan lebih baik, tetapi sebaiknya
usia setahun jangan sekolah dulu,” tegas perempuan berambut panjang ini.
Hal senada diucapkan oleh Hanlie
Muliani, M.Psi, psikolog dari Golden Life Institute, sebaiknya orangtua tidak
harus terburu-buru mendaftarkan anaknya masuk sekolah. “Usia yang pas setelah
anak berusia 1,8 tahun atau minimal 2 tahun,” kata Hanlie yang mendaftarkan
sekolah anaknya ketika berusia 2,7 tahun ini. Ada baiknya usia anak yang masuk
dalam taraf golden age, orangtua harus intensif mendampingi. “Melatih sosial
kan bisa di rumah,” singkatnya.
Hanlie menegaskan jika memang
orangtua keukeh mendaftarkan anak untuk memperoleh pendidikan sejak dini, ia
menghimbau agar orangtua harus bisa membuat psikologis anak tidak terganggu.
Anak harus bahagia dan menyenangkan. ‘Anak harus merasa joyfull karena
pengalaman pertama anak masuk sekolah harus dibuat menyenangkan,” papar Hanlie.
Jika hal itu diterapkan maka anak akan merasa bahwa sekolah adalah sesuatu yang
menyenangkan sehingga anak. menyukai kegiatan belajar mengajar.
“Ada orangtua bilang lebih cepat
akan lebih baik masuk sekolah,” tutur Hanlie yang ditemui di BSD, Tangerang
beberapa waktu lalu. Anggapan lebih cepat belum tentu baik. Sehingga jika sejak
kecil sudah dibebani materi banyak membuat tidak efektif.
Jenuh. Katarina yang juga tercatat sebagai pengajar di Fakultas
Psikologi Universitas Bina Nusantara mengatakan, jika memang orangtua
memasukkan anak ke sekolah ada baiknya orangtua mengetahui tujuannya apa. Usia
satu tahun menurutnya bukan sesuatu yang penting bagi anak untuk menimba ilmu,
ditambah biaya yang dikeluarkan orangtua juga tak sedikit, bahkan mayoritas
orangtua berkocek tebal yang bisa memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. ‘Anak-anak
bisa menjadi korban dari keinginan orangtua yang sekadar ingin mendapatkan
prestasi yang diperoleh anak melalui sekolah dini," ujar psikolog bertubuh
langsing ini.psikolog bertubuh langsing ini.
Orangtua harus dibiasakan melatih
kemampuan anaknya bukan dari sekolah saja tetapi meskipun sibuk orangtua harus
tahu perkembangan intelektual si anak. “Misal orangtua tahu si anak sudah bisa
baca ya, oh bisa ini,” katanya.
Dampaknya pun cukup signifikan
jika anak usia setahun sudah disekolahkan mengingat jenjang pendidikan menjadi
faktor utama dan ada kemungkinan jika si anak beranjak dewasa akan terus
diminta orangtuanya untuk bersekolah demi mendapatkan gelar. Kondisi ini
membuat si anak bisa jenuh Karena hampir semua waktunya dihabiskan untuk
bersekolah. “Dampaknya bisa berbeda-beda, ada yang jenuh, males-malesan datang
ke sekolah,” tutur Katarina yang mengatakan dampak itu yang menjadi ketakutan
orangtua.
Lanjut Katarina, jika anak sudah
jenuh akan muncul sebuah pola pikir atau mind set bahwa sekolah adalah tempat
yang tidak menyenangkan. “Persepsi anak akan sekolah semakin turun,"
ujarnya yang tetap menghimbau orangtua berpikir matang untuk menyekolahkan anak
di usia setahun. Memilih Sekolah. Lalu bagaimana sebaiknya sikap orangtua saat
mendaftarkan sekolah yang tepat bagi anaknya, apakah harus memiliki persiapan
khusus?
Menurut Hanlie orangtua harus
mulai membawa anak ke lingkungan
sekolah kakaknya atau sekolah apa saja yang terpenting anak diperlihatkan
suasana sekolah yang sesungguhnya. “Melihat sekolah yang nyaman anak memiliki
pikiran kalau sekolah itu tempat yang menyenangkan sekaligus melatih mental
anak sebelum didaftarkan sekolah oleh orangtuanya,” tegas Hanlie.
Pola ajar kepada anak memang
harus diperhatikan karena idealnya sebuah ruangan cukup hanya 15 anak dengan 1
guru yang mendampingi. Proses belajarnya cukup 3 kali dalam seminggu dengan
waktu cukup 2 jam saja; “Kalau usia setahun materinya lebih ke melatih motorik
seperti berjalan, melompat, dan memegang benda dengan cara yang lembut,”
paparnya.
Dipertegas oleh Katarina, paling
ideal anak berusia 3-5 tahun sebagai awal masuk sekolah. Meskipun disesuaikan
dengan perkembangan anak, misalnya anak
berusia tiga tahun bukan berarti harus pandai membaca dan menulis karena harus
dilihat intelijensi si anak. ‘Anak usia tiga tahun juga belajarnya sambil
bermain juga,” kata Katarina. Sehingga ketika memiliki rencana untuk memasukkan
anak sekolah, orangtua sudah tahu sekolah apa yang sesuai dengan anaknya.
“Misal anaknya berusia empat tahun dan orangtua memaksakan anaknya bisa membaca
dan menulis, sehingga orangtua mengetahui sekolah yang pas untuk buah hatinya,”
tutup Katarina. Abba Gabrillin
Sumber: Tabloid Femme
0 komentar:
Post a Comment