Ketika anak sakit, dokter
biasanya memberikan obat dalam bentuk puyer. Namun pemberian puyer pada bayi
dan anak-anak menimbulkan polemik, karena puyer merupakan campuran dari dua,
tiga atau lima jenis obat yang digerus menjadi satu dengan alat yang diduga tidak
steril. Lantas, apakah berbahaya buah hati kita mengonsumsi obat puyer?
Sejak zaman dulu, obat puyer
lazim digunakan para orangtua saat buah hatinya sakit. Namun, belum lama ini
tersiar kabar bahwa obat puyer kurang aman dikonsumsi anak-anak. Padahal puyer
merupakan obat yang mudah dikonsumsi oleh anak-anak.
Apa itu Puyer? Menurut Drs. Tahoma Siregar; Msi, Apt., Kepala
Program Studi Apoteker dari Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta,
dalam dunia farmasi, puyer juga sering disebut pulveres, yang merupakan obat
sediaan berbentuk serbuk. Pada umumnya puyer merupakan campuran dua obat atau
lebih yang digerus dan dicampur menjadi satu, dimasukkan ke dalam kertas
perkamen. Bisa dua, tiga atau lebih obat yang dicampur. Bisa saja hanya satu, tapi
itu jarang, terangnya. Dijelaskan oleh Drs. Tahoma, sejarahnya obat memang
berbentuk puyer, namun dalam perjalanannya obat berkembang menjadi tablet atau
sirop, yang memudahkan untuk dibawa ke mana-mana.
Meskipun begitu, hingga kini
puyer masih dibutuhkan, dan masih ada dokter yang memberikannya. Ada beberapa
alasan mengapa dokter masih memberi puyer, umumnya agar lebih mudah dikonsumsi
anak- anak. Ditambahkan Drs. Tahoma, puyer merupakan obat yang harganya masih
terjangkau dibandingkan sirop. Sedianya, bentuk sediaan puyer tidak akan pernah
bisa dihilangkan, walaupun konon sejarah puyer lahir karena keterbatasan obat
untuk anak.
Dr. Tatang Puspanjono, Sp.A,
salah satu staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan yang
juga berpraktik di MRCCC Siloam Hospital Semanggi, Jakarta, mengatakan bahwa
obat puyer, sangat populer dalam dunia pengobatan di Indonesia, terutama untuk
pasien anak-anak. Harganya lebih murah dan lebih mudah dalam hal
pendistribusian ke daerah- daerah. Kemajuan teknologi formulasi melahirkan
begitu banyak obat. Tapi, tetap saja puyer tidak tergantikan karena pengobatan
bersifat individual.
Bahaya? Diakui dr Tatang Puspanjono, SpA, soal pemberian puyer pada
bayi memang masih menjadi kontroversi. Hal ini timbul karena puyer merupakan
campuran dari 2, 3 atau 5 jenis obat sekaligus yang digerus pada alat yang
diduga tidak steril. Praktik pembuatan obat yang tidak sehat itu karena tidak
mengikuti pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang harus serba steril.
Saat meracik puyer, alat penggerus diduga tidak dicuci dulu sehingga sisa obat
yang menempel bercampur dengan obat baru yang akan digerus.
Menurut dr. Tatang, yang perlu
diperhatikan dalam membuat puyer adalah tempat peracikan, perhatikan
higienitasnya. Pembuatan puyer dilakukan di lumpang, di mana alat tersebut
tidak bereaksi dengan obat. Bukan dengan alat penggerus berupa mixer, yang
terdapat logam di mana dapat berinteraksi dengan zat aktif yang jika ada
masalah akan menimbulkan efek toxic bagi puyer. Kemudian, pencampurannya
(dispencing homogen), apakah homogen atau tidak. Puyer yang sudah digerus akan
dibagi-bagi dan dilakukan pembagian sesuai massanya. Dijelaskan Drs. Tahoma,
jika prosedur tersebut telah dipatuhi semua, tidak akan menimbulkan masalah.
Menurut dr. Tatang, jika jenis
obat atau takaran pada resep dokter tidak terbaca akurat oleh apoteker dapat
terjadi salah racik. Karena itu, proses pembuatan puyer memang harus memenuhi
syarat pembuatan obat yang baik, atau disebut good pharmacy practice, yaitu memenuhi
praktik kefarmasian yang baik. Apoteker perlu mengkaji resep, mengenai
kebenaran resep tersebut, izin praktik dokter, apakah mengandung zat yang dapat
berinteraksi antara obat yang satu dengan yang lain, meleleh atau tidak, serta
obat tersebut tidak boleh rusak secara fisik. Juga harus mempertimbangkan
interaksi di dalam tubuh pasien. Jika akan diberi untuk anak, pastikan obat ini
aman di dalam tubuh dan tidak memberi efek lain. Maka dari itu, harus ada
komunikasi antara apoteker dengan dokter Apoteker juga perlu memperhatikan
dosis, di mana harus sesuai dengan batas usia dan berat badan anak.
Drs. Tahoma menerangkan, dalam
meracik puyer tidak menutup kemungkinan akan timbul risiko kerusakan obat
karena pencampuran. Dalam dunia farmasi memang ada yang harus selalu
diperhatikan misalnya resep yang diberikan adalah berbentuk tablet yang tidak
boleh digerus. Maka itulah tugas apoteker menyampaikan pada dokter Ada bentuk
sediaan tablet yang memang tidak bisa dibuat puyer. Inilah tantangan besar bagi
apoteker.
Lebih lanjut dr. Tatang
menjelaskan, pada kenyataannya belum ada pernyataan larangan obat berbentuk
puyer baik dari Kementerian Kesehatan RI maupun dari sumber informasi
terpercaya seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), atau ahli farmasi. Dr. Tatang menyarankan agar masyarakat menyikapi
kontroversi puyer ini dengan jernih, sebab masalah yang dikhawatirkan terjadi
pada puyer juga bisa terjadi pada jenis obat lain, seperti sirop. Jika memang
ragu dengan puyer, maka sebaiknya meminta obat jenis sirop pada dokter.
Hingga kini, menurut Drs. Tahoma,
belum ada obat yang dibuat khusus untuk anak-anak, sehingga puyer masih menjadi
pilihan untuk anak jika sakit. Obat yang beredar masih berpihak pada sediaan
untuk orang dewasa. Masih menurut Drs. Tahoma, jika puyer dihilangkan,
tergantung kesediaan industri, farmasi memproduksi obat sediaan anak. “Baru
beberapa jenis obat yang berbentuk sirop, seperti parasetamol, amoxicillin,”
jelas Drs. Tahoma. “Yang pasti, selama dokter dan apoteker menjalin komunikasi
yang baik, dan apoteker menjalankan good pharmacy practice, maka puyer tidak
akan menimbulkan masalah," lanjut Drs. Tahoma.
Sumber: Tabloid Femme
Sumber: Tabloid Femme
0 komentar:
Post a Comment